Jika
tak punya uang, hidup ibarat sampah. Begitulah arti judul tulisan ini. Judul
ini saya ambil dari salah satu pribahasa di daerah yang dominan para orang tua sangat
mengharapkan anaknya menjadi militer.
Karakteristik
masyarakat di sana sangat keras, tempramental dan pemaaf, sebuah kepribadian
yang saling bertentangan dalam satu raga, bernama semangat. Desa ini dulunya
terpencil, Air Itam Penukal namanya. Masuk dalam Marga Penukal Abab, Kecamatan
Talang Ubi Pendopo, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.
Kalau
orang Batak bilang, Hepeng do Mengatur Negaraon (Negara Ini Diatur Oleh Uang) itu betul
dan sangat benar. Kira – kira maknanya mirip dengan judul tulisan ini tadi, dak getek sen, nabo wer.
Memang,
hidup di dunia ini harus punya uang banyak. Bisa jadi uang segala-galanya. Jika
tak punya uang, maka buang saja ke dalam bak sampah. Sadis! Sebab uang bisa
membuat sebagian orang tertawa, bahagia dan berwibawa.
Tapi
tak dapat dipungkiri, uang juga dapat membuat orang menderita, resah dan
celaka. Apalagi didapat dengan cara – cara yang kurang etis, seperti dari hasil
mencuri, mencopet, memeras, menipu, merampok dan korupsi.
Kata
“korupsi” bagi sebagian orang sangat mudah diucapkan, indah didengar dan
menggiurkan. Karena prilaku koruptif sangat menguntungkan, pelakunya tentu akan
mendapat nilai lebih dari hak yang seharusnya dia terima.
Namun,
praktik korupsi berbeda dengan mencopet, memeras dan merampok tapi agak mirip
dengan mencuri atau nyolong. Sebab, korupsi dilakukan dengan cara sembunyi –
sembunyi yang tentu saja membutuhkan ketangkasan, kesempatan dan sedikit nyali.
Para
pelakuknya dominan dari golongan orang- orang intlek yang umumnya pernah
mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Sedangkan
mencopet, memeras dan merampok bahkan menipu dilakukan dengan terang – terangan dan
membutuhkan keberanian besar. Tidak perlu tangkas dan pinter, cukup dengan satu
kata, nekat.
Oleh
sebab itu keberanian melakukan korupsi saya
rasa sangat berbeda dengan keberanian melakukan perampokan. Walaupun tujuannya
sama, yakni sama - sama mengambil hak orang lain baik berupa uang, harta benda,
popularitas dan kedudukan dengan cara memaksa.
Analisa
saya, pelaku korupsi ini hanya terjebak
dalam sebuah peluang dan kesempatan. Mungkin tak ada satu orangpun yang
berencana untuk melakukan korupsi. Sebab pada dasarnya manusia dilahirkan baik.
Jadi
siapa yang harus disalahkan dalam hal ini, atau siapa yang harus divonis
sebagai penjahat, saya rasa bukan korupsi, tapi pelakunya, dan yang harus disalahkan ialah uang itu sendiri.
Sebab uang memiliki daya tarik yang luar biasa.
Pribahasa
lain mengatkan, lebih indah mata uang dari pada mata bidadari. Sebab keindahan
uang dapat dinikmati tidak hanya oleh orang-orang yang melek, namun para tuna
netra pun sangat mengaguminya. Pada hal dia tidak tahu warna dan bentuk uang
itu sendiri.
Namun
ada juga yang mengatakan mata uang lebih tajam dari pada mata pedang. Ini juga
tidak salah, sebab orang yang punya uang dapat menggunakan seribu mata
pedang untuk memuaskan nafsu dendamnya secara bersamaan. Hal ini tak sama
dengan pemilik satu mata pedang ***