Oleh : Rizal Ependi
Hidup
memang tak sesulit menghidupi, begitu kata hati ku. Teman ku di Semenanjung
Pulau Kalimantan berkirim surat ke
aku, lengkap dengan brosur mengajak berbisnis. Waktu itu sudah berlalu,
kira-kira delapan tahun silam.
Tawaran
itu aku tolak dengan lembut. Suratnya tak ku balas, kecewa, mungkin iya. Dia
agak kecewa, buktinya sudah hampir sepuluh tahun tak secuil pesanpun ku terima
darinya. Juga tak sepotong alasan.
Padahal
dia teman ku. Teman karib ku. Begitupun aku, untuk sekedar bertanya kabar, aku sangat
kesulitan. Telepon gemgamnya selalu tidak aktif, mungkin berganti nomor, hanya
suara nada-nada tersendat terdengar setiap kali aku menelpon temanku itu.
Menolak
tawaran seorang teman yang mengajak hidup lebih baik, itu bukan alasanku.
Tepatnya aku hanya sedikit memiliki jiwa bisnis. Aku seorang petualang, suka
tantangan, tapi bukan dengan berbisnis.
Mungkin
inilah kelemahan ku, atau mungkin sebuah kelebihan, yang jelas darah bisnis ku
perlu dipupuk. Begitu kata hatiku, setiap kali aku mengingat tawaran itu.
Berbisnis,
sah-sah saja. Asalkan tak melanggar aturan. Kendati temanku juga seorang
jurnalis. Dia punya alasan tepat, untuk memperbaiki ekonomi keluarga, sekaligus
menjadikan keluarga yang produktif, bukan konsumtif.
Bakat
menulisnya terpahat, mungkin tidak seperti aku. Temanku tak tahan hidup miskin,
begitu juga aku. Karena dengan menjual karya tulis, apalagi pada surat kabar terbitan daerah, mungkin sama saja dengan berdagang
es krim dimusim penghujan.
Aku
agak geli, apalagi mengingat cerita temanku tadi. Selama menjadi jurnalis, dia
pernah terpaksa menerima ”amplop” hanya untuk membeli sebungkus Dji Sam Soe dan
setengah suku emas. Beda dengan aku, kalau temanku terpaksa menerima amplop, aku malah pernah sedikit memaksa
agar diberi amplop.
Memaksa
! oh tidak. Hanya sedikit tapi tidak sepenuhnya memaksa. Tapi aku masih ingat,
dan ingat betul waktu itu. Awalnya aku sangat gembira, bercampur was-was, rasa
takut juga ada. Amplop itu aku buka, isinya
uang, cukup untuk ku.
Ini
uang apa, dia tidak iklas. Tapi aku mengambilnya dengan semangat. Aku bawa
pulang, belanja sepotong roti dan sekaleng susu untuk anak ku. Senyum memang,
waktu itu aku tersenyum. Terbayang tanganku menyodorkan sepotong roti itu
kepada anak ku.
Anakku
menerimanya, tangannya yang bersih, putih menadah dibawah. Dia sangat suka,
ole-ole pemberianku. Setiap hari ditunggunya, namun lebih banyak nihil dan
dia kecewa.
Anak
ku menyeruput susu segar yang disedu dengan sedikit air hangat. Aku melihat,
melihat dengan jelas cairan putih itu masuk ke tubuhnya. Puas, anak ku nampak lega.
Kali
kedua saat gelas dituangkan ke mulutnya, muncul perasaan lain di hati kecil ku.
Perasaan ku tak enak, hati ku miris. Duh, nak. Papa terpaksa mencubit orang demi segelas susu untuk
mu, betapa rendahnya Papa, begitu kata hati ku.
Aku
menghela napas, trus ke kamar mandi. Dada ku sesak, kubasahkan kepalaku dengan
air bak, sambil menghapus air mata yang tersisa dipipi ku. Hati ku berontak,
jangan lagi, jangan! Aku bingung dan berniat tak mengulangi amplop yang masih tersisa.
Ini
rezeki. Bukan, ini bukan rezeki. Sebab rezeki tak mungkin membuat orang
menangis menyayat pilu. Ini pasti bukan rezeki, ini anugerah tapi bukan dari
Tuhan. Aku berfikir, bila anugerah ini bukan dari Tuhan, lalu dari siapa atau
dari mana dan untuk apa.
Menurut
aku, anugerah yang bukan dari Tuhan tak ubahnya sebuah musibah. Atau nantinya
akan mendatangkan bencana. Bencana, ya musibah yang satu saat tentu akan
membuat hati ku semakin pedih.
Aku
telah menyakiti orang lain, tapi orang yang kusakiti juga raja tega. Dia telah
menyakiti seluruh (wajib pajak) di Negara tempat aku lahir, besar dan beranak.
Merampas hak orang-orang kecil, yang setiap hari membayar pajak pada negara.
Tapi
apakah dia juga mengalami seperti aku ketika melihat anaknya minum susu dari
hasil menyakiti orang lain. Itu entah. Aku tidak tahu, tapi aku masih menang,
hanya satu orang yang kusakiti, tidak banyak seperti dia.
Menang
! itu kata ku, di tengah masyarakat aku tetap kalah, tidak menang. Dia koruptor
ulung, maling kelas kakap. Punya pangkat juga kedudukan, kalau dia lewat orang
melempar senyum, segan dan berwibawa.
Semua
pada hormat, suaranya bak seruan sangkakala. Menggema, semua kepala tertunduk
mendengar nasihatnya. Tentu saja ucapannya sangat berbeda dengan tingkah lakunya.
Sedangkan
aku, ada pun dianggap tidak ada. Bila aku tersenyum orang malah membuang ludah,
mencemooh, tolol. Padahal aku hanya menyakiti satu orang dan dia lebih dari
sejuta orang. Mengapa dia lebih dihormati, aku tak tahu, mungkin semua orang
telah me-legal-kan prilaku koruptif.
Rasanya
aku ingin juga dihormati, tapi apakah
aku harus mencuri, atau bekerja sama dengan pencuri agar mendapat harta, tahta
atau populeritas, agar dihormati orang. Aku rasa tidak, itu semua memang harus
dibeli, tapi bukan dengan uang hasil menyakiti orang banyak atau korupsi.
Aku
sering bertanya pada diriku, jika aku mengambil paksa uang hasil korupsi pada
koruptor, walaupun dengan cara halus dan lembut, apakah aku termasuk juga
seorang koruptor. Aku rasa tidak, aku tidak melakukannya, tapi menikmatinya,
bisik alam bawah sadarku.
Tapi
hati ku mengatakan lebih keras, ya kamu seorang koruptor. Tepatnya ya dan ya
kamu seorang yang berkolaborasi melakukan praktik korupsi. Malah lebih jahat,
kata hatiku. Mengapa ? karena kamu juga telah mencuri atau merampas hak orang
banyak melalui seorang koruptor.
Masa
bodoh, kata ku. Hati ku menyebut, kamu memang bodoh bin tolol. Karena kamu
telah mengambil hak mu dengan cara mencuri, padahal itu hak mu. Ada hak mu di situ, dan bisa kamu dapatkan tanpa melalui
proses memeras koruptor.
Kamu
manusia, kamu akan diberikan anugerah dan sekaligus akan ditimpakan musibah
jika kamu merampas hak orang banyak dengan cara menggertak para koruptor.
Munafik
! memang aku munafik. Tapi aku akan berusaha untuk tidak menjadi orang munafik.
Aku hanya ingin mencoba menjadi orang baik menurut diriku sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar