Oleh : Respati Wasesa
Tan Malaka, sosok yang terlupakan. Di tengah gemuruh arus kemerdekaan yang hebat, ia hanya bisa menikmatinya dari alam kubur. Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh Tan; “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi”. Memang, akhirnya ia tewas, namun agaknya suaranya tak terdengar lantang di bumi bangsanya.
Ia pahlawan nasional. Presiden Sukarno mengesahkannya pada 1963. Tapi itu hanya sebuah peristiwa semu saja, yang beralibi untuk mengenang Tan. Pada masa Orba, namanya tenggelam begitu saja tanpa ada yang menyanggah. Ia dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Mungkin, perlakuan naif itu dilakukan, karena Orba merasa diri anti-komunisme.
Tan nyaris tak disebut dalam kisah-kisah heroik para pejuang. Pramoedya Ananta Toer, mengatakan bahwa Orba telah melakukan “pembodohan sejarah”, rakyat Indonesia dijejali dengan kebohongan lewat sekolah-sekolah. Boleh jadi, apa yang dikatakan Pram, mengarah pada Tan yang terlupakan.
Sehingga, sejarah Indonesia akan mengalami ketimpangan; seolah ada tokoh-tokoh super yang ditampilkan berlebihan, ada juga yang tak dikenal sama sekali.Tapi pahlawan bukan tokoh misterius. Ia ada untuk ditelaah perjuangannya, atau sekadar menilik kembali kejadian suram masa silam. Bukan untuk dielu-elukan, apalagi sampai didewakan. Seolah-olah, pahlawan telah menjadi mitos. Anggapan inilah yang kemudian menjadi sebuah jarak, antara masa silam dan masa sekarang.
Padahal, apa yang terjadi sekarang, sebenarnya pun mirip dengan kejadian masa lampau. Sebenarnya, antara masa silam dan sekarang itu ada sebuah jembatan, ia adalah sejarah.
Siapa pula yang kenal dengan Tan Malaka? Sedikit sekali orang yang mengenalnya. Ia adalah tokoh yang berperan penting dalam kemerdekaan pasca proklamasi. Pada 1922, ia dibuang oleh pemerintah kolonilal ke Belanda karena dianggap “mengusik”.
Dari sana ia berkelana ke banyak negara dengan berbagai nama samaran dan membawa ideologi; Marxisme. Bukan semata ia mempertahankan ideologinya, namun yang terpenting baginya adalah kemerdekaan Indonesia.
Pada 1942, ia kembali ke Indonesia diam-diam, setelah malang melintang di berbagai negara dengan keterasingannya. Ilyas Hussein nama samarannya, ia pergi ke Jakarta menemui tokoh pemuda, melakukan propaganda. Tentu mereka heran, ia yang mengaku bekerja di pertambangan batu bara di Banten, bisa mengutarakan gagasannya sehebat itu. Ternyata, nama Tan terkenal, karyanya; “Masa Aksi”, banyak dipelajari oleh kaum pergerakan, termasuk Sukarno.
Pasca proklamasi, Tan-lah yang mendesak pemuda agar segera melakukan proklamasi. Dengan pengaruhnya, Soekarno dan Hatta diculik golongan pemuda ke Rengasdengklok. Alhasil, proklamasi terlaksana. Tan tak hadir dalam kejadian penting itu, ia yang waktu itu menginap di rumah Sukarni (golongan muda) ditinggal oleh tuan rumahnya itu; ternyata Sukarnilah yang menculik Sukarno, sehingga Tan ditinggal, pada saat itu pun Sukarni tak tahu bahwa Hussein itu Tan. Ia jugalah yang menggerakan masa pada rapat akbar di lapangan Ikada.
Di tanah airnya sendiri, ia pernah dipenjara—lebih lama dari di luar negeri; dua setengah tahun. Pada 1946, ia ditangkap di Madiun, dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta. Sebelumnya, ia membentuk “Persatuan Perjuangan” yang intinya, menolak jalur diplomasi—ia menginginkan Indonesia merdeka seratus persen.
Di tempat inilah ia bertemu dengan Jendral Soedirman. Akhirnya, dua sekawan ini bergerilya bersama kembali menghalau Agresi Belanda, setelah Tan bebas pada 1948. Saat itu, kemerdekaan Indonesia dalam keadaan genting; Soekarno, Hatta, Syahrir ditangkap oleh Belanda. Tan dan Soedirman pun berpisah, ia bergerilya ke Jawa Timur, sedang Soedirman ke Jawa Tengah.
Pemerintahan darurat dibentuk, Syafrudin Prawiranegara di Sumatra yang memimpinnya. Tan menolak, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamplet dan berpidato memproklamasikan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi, menggantikan Soekarno-Hatta yang tak lagi memegang kekuasaan; ia melakukan itu, karena Soekarno pernah memberikan testamen pada 1945 yang isinya, menyerahkan kekuasaanya apabila Soekarno ditangkap.
Dalam persembunyian itu, Tan melakukan propaganda agar rakyat berani melakukan gerilya terhadap Belanda. Di tempat itu juga, Tan mengkritik tentara devisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap rakyat.
Soengkono mendengar kabar itu, akhirnya ia menugasi anak buahnya untuk mengintai Tan karena dianggap berbahaya untuk Republik Indonesia. Tan dinilai melakukan agitasi politik terhadap rakyat, guna merebut kekuasaan Soekarno.
Tan tewas oleh Tentara Republik Indonesia, di Selopanggung, pada 23 Februari 1949. Masih menjadi kontroversi siapa yang membunuh Tan. Harry Poeze, Sejarawan Belanda yang meneliti Tan, mengatakan jika yang mengeksekusi Tan adalah Tentara itu, atas perintah Soengkono. Tan tewas tanpa jejak, pemakamannya pun tak jelas. Ia dihujat dan dilupakan oleh negaranya sendiri. Ia kesepian, api semangatnya yang membara ternyata tak berarti apa-apa oleh ganasnya senapan.
Sejarah memang milik penguasa, kata seseorang. Demi kepentingan politik, sang pahlawan dibentuk atau ditiadakan. Yang hebat tambah menjadi hebat, hingga ditempatkan pada yang bukan tempatnya. Akhirnya, sang pahlawan hilang kehebatan, ketika ia ditempatkan pada dunia yang bukan kuasanya; dunia para dewa. Tan tetap hebat, di tengah mahkluk sesamanya yang mendewakan manusia. Sebab, ia tak ditempatkan di dunia dewa-dewa seperti “Sang Pahlawan” lainnya.
Penulis adalah : *) Mahasiswa Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Sumber Artikel: http://jambiberdikari.blogspot.com/2013/02/tan-malaka-bapak-republik-yang.html
http://www.berdikarionline.com/tokoh/20101228/tan-malaka-bapak-republik-yang-terlupakan.html#ixzz2KCKi6KNa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar